Sepenggal Kisah Perjalanan Menuju Puncak Pangrango

Sore itu 22 Oktober 2013 kami berangkat melakukan perjalanan “ulin” menuju Gunung Pangrango yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Katanya Gunung Pangrango dengan ketinggian 3019 mdpl merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Gunung Ceremai 3078 mdpl. Untuk mendaki Gunung Pangrango ini harus booking dulu minimal H-7 sebelum berangkat.

Kami berangkat satu tim yg beranggotakan 7 orang, yaitu Mochy(saya), Jebrag, Gagap, Tarno, Nasmi, Ochold, dan Gugum. Setelah melakukan prosesi ritual upacara adat pemberangkatan di depan kampus UIN Sagede Bandung pada pukul 17.30 WIB kami pun mulai berangkat. Namun ternyata sebagian besar dari kami belum makan, diputuskanlah untuk mampir dulu di Warteg depan kampus. Setelah semua perut terisi kami pun memulai perjalanan diperkirakan saat itu pukul 18.45 WIB kami bersama menuju Cileunyi dengan menumpang mobil engkel ”truk leutik paragi ngangkut keusik” setengah jam kemudian kami tiba di Cileunyi tepatnya dekat Gerbang TOL Cileunyi.

Disitu kami menunggu cukup lama bis yg akan mengangkut kami ke Cileunyi.  Menunggu memang membosankan namun kami begitu terhibur dengan live accoustic beberapa pengamen cilik yg biasa mangkal disana. Sekitar 58 menit lebih beberapa detik menunggu, bis yg ditunggu pun tiba dengan merk ”Do’a Ibu” jurusan Banjar-Jakarta dengan ongkos Rp. 25.000,-/orang kami pun berangkat menuju Cibodas, Cianjur.

Setelah menempuh puluhan kilometer selama 3 jam bus pun tiba di Cipanas (meureun) disitu ada tukang bubur tapi kami hanya melihat saja. Dari situ kami harus naik lagi angkot, ehh angdes (angkutanpedesaan). Ongkos normalnya Rp.5000,-/orang tapi harus menunggu penumpangnya penuh (12 orang) berarti harus Rp.60.000,- baru bisa Let’sGo  sementara kami hanya 7 orang. Setelah melakukan konsolidasi dengan supir (kami menamakannya Perundingan Cipanas) disepakatilah dengan Rp. 50.000,- kita Let’sGo. Lima menit saja kami tiba di Pintu gerbang kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Karena malam begitu larut sekitar pukul 11.00 WIB, kami memutuskan untuk istirahat di warung Mang IDI (bukan warung remang-remang) disana ada ruangan/basecamp yg biasa dipakai untuk beristirahat para pendaki.

Foto bersama dulu biar keren. Terlihat masih ceria, cerah dan bersemangat untuk mendaki.
Esoknya, 23 Oktober 2013 pagi yang begitu cerah menurutku. Setelah sarapan pagi kami memulai pendakian. Berjalan selama 15 menit hingga Pos Jagawana disana ceritanya kami akan menukarkan tanda bukti booking dengan SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi), ternyata ehh ternyata tempatnya bukan disana melainkan di kantor Balai yg sudah terlewat tadi. Kami pun kembali lagi dengan ceria (meniwae) menuju kantor Balai. Disana kami mengurus perizinan, menukarkan tanda bukti booking dengan SIMAKSI dan membayar tiket Rp. 2.500,-/hari/orang. 

10.00 WIB pendakian dimulai lagi sama seperti tadi menuju Pos Jagawana menunjukan SIMAKSI dan menulis perbekalan yg menghasilkan sampah. Mulailah kami berjalan melintasi jalan berbatu selebar 2-3 meter, melintasi kawasan hutan tropis yang lebat diiringi merdunya kicauan burung diantara pepohonan yg badag dan udara yg begitu sejuk.

Setelah berjalan 1,6 kilometer kami tiba di Telaga Biru yg merupakan salah satu tempat wisata di kawasan TNGPP ini. Telaga Biru adalah danau kecil yg warnanya selalu berubah-ubah karena ganggang yg tumbuh didalamnya, namun seringkali terlihat berwarna biru sehingga disebut Telaga Biru. Kicauan burung dan gemericik air dari sungai kecil yg mengalir di sebelahnya membuat suasana disini begitu damai harmonis. Terdapat pula Shelter/saung biasa digunakan untuk beristirahat/berteduh para pendaki maupun wisatawan-wisatawati.

Rawa Gayonggong dengan background Gunung Pangrango. 

Melanjutkan perjalanan sekitar 5 menit melewati jembatan kayu (semen padahalmah ngan dibentuk jiga kayu) kami tiba di Rawa Gayonggong. Di kanan dan kiri jembatan kita akan melihat hamparan rumput ilalang yang rata-rata tingginya lebih dari 1 meter. Tak lama kemudian kami pun tiba di Pos Panyangcangan Kuda 1620 mdpl disini kami sejenak beristirahat dan merokok memberi CO2 pada pohon-pohon disini.  Jalan disini bercabang ke kanan menuju Curug Cibeureum, ke kiri ke Kandang Badak, Puncak Gede dan Puncak Pangrango.

Perjalanan dilanjutkan dari sini jalan mulai menanjak terjal berbatu dan berliku (pungkal-pengkol). Kanan kiri pohon-pohon besar menjulang. Sesekali terlihat Owa Jawa Javan gibbon (Hylobates moloch) bergelantungan bebas diantara pepohonan. 

BUKAN  Owa Jawa Javan gibbon (Hylobates moloch)
Sekian jam kami berjalan tiba di Air Panas. Disini kami melewati lereng curam yg dialiri air panas dengan suhu 65°C meureun. Kami berjalan harus ekstra hati-hati jalanan licin, sempit dan sisinya jurang. Pendaki harus berjalan satu persatu, meskipun ada tali untuk berpegangan namun kami rasa tidak cukup safety.

Jalan licin dan sempit melewati air panas.

Hingga tiba di Pos Pemandangan 2150 mdpl atau Pos Panorama ceuk si Gagap mah. Dinamakan demikian disini kami dapat menyaksikan pemandangan hutan tropis yg begitu eksotis harmonis. Kami memutuskan beristirahat disini, selain pemandangan yg indah mengalir pula sungai air hangat sehingga kami dapat merendam kaki dan merelaksasi otot-otot yg sedang bekerja begitu keras. 

Berendam air hangat, mantap tenaaaaaan 

Puas beristirahat dan berendam kami lanjut berjalan, tak memakan waktu lama sekitar ratusan detik lah kami tiba di Pos Kandang Batu 2.220 mdpl pos ini hanya kami lewati dan lanjut berjalan melewati Air Terjun teuing poho deui ngaranna hingga tiba di Pos Kandang Badak 2.395 mdpl.

Di Pos Kandang Badak ini kami tiba sekitar pukul 16.00 WIB disini terdapat persimpangan jalan menuju Puncak Gede dan Puncak Pangrango. Kami memutuskan mendirikan tenda dan bermalam disini. Di Kandang Badak ini terdapat sumber air dan sayangnya di sumber air tersebut banyak tumpukan sampah berserakan.  Disini juga kami bertemu dengan rombongan Mbip, Tanto, Teh Mia, Si Prof dan MangKer yg telah mendaki lebih dulu.

“Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya” –Ost.GIE-

Setelah tenda berdiri kami mulai memasak perbekalan kami, ngopi, merokok diiringi dengan obrolan ringan penuh canda tawa. Gagap terlihat begitu puas beristirahat setelah perjalanan membuatnya begitu ripuh, Jebrag yg selalu bernyanyi dan berjingkrak, Tarno yg tidak bisa diam dengan kata-kata baru keluar dari mulutnya, Nasmi begitu antusias karena ini merupakan pendakian perdana baginya, Gugum yg begitu rajin menemukan sesuatu dari mulai sendok, pasak, dan penyongkel hingga dia dijuluki Gugum “Nimu” dan Ochold yg mendadak jadi juru masak sehingga dijuluki Ochold “Trangia”. Hingga jam tangan menunjukan pukul 20.00 WIB kami pun memutuskan untuk tidur beristirahat, mempersiapkan mental jiwa dan raga untuk SummitAttack menuju Puncak Pangrango esok pagi. 

Kandang Badak Kamis, 24 Oktober 2013 Pukul 07.30 WIB setelah sarapan kami mulai bergerak melanjutkan perjalanan menuju Puncak Pangrango. Berjalan keatas hanya membawa perbekalan air minum, makanan ringan, rokok, dan kamera tentunya. Dari sini melewati jalan setapak yg semakin terjal, sesekali harus melintasi pohon tumbang. Jalur menuju Puncak Pangrango ini cukup rumit karena banyaknya jalur memotong.

Akhirnya setelah sekian jam berkeringat kami tiba di Puncak Gunung Pangrango 3.019 mdpl rasa lelah pun terbayar dengan pemandangan puncak yg lagi lagi begitu eksotis harmonis. Dari sini kita dapat melihat panorama Gunung Gede yg berada di seberang (jika tidak tertutup kabut). Di Puncak Pangrango ini terdapat tugu dan saung, juga tumbuh pohon cantigi, bunga edelweiss dan tumbuhan-tumbuhan lainnya.

Bara Belantara MAHAPEKA di Puncak Gunung Pangrango 3.019 mdpl

Nasmi Presma Jurnalistik (paling kiri) terharu mencapai puncak karena ini merupakan pendakian perdana baginya. 

Di Puncak Pangrango ini kami berfoto, beristirahat sambil ngemil perbekalan seadanya. Tak lama disana kami memutuskan untuk menuju Lembah Mandalawangi yg ditempuh selama 5 menit berjalan kaki. Sayangnya Gagap tidak ikut ke Mandalawangi dan memilih turun kembal ke Kandang Badak dengan berbagai alibinya.  


Tidak sampai 5 menit kami tiba di Lembah Mandalawangi, lembah landai ditumbuhi rerumputan hijau yang lembut dan dipenuhi bunga abadi “Edellweiss”. Suasananya begitu tenang dan damai menyejukkan jiwa. Dari kejauhan tampak Gunung Salak terlihat. 




Konon Lembah Mandalawangi ini menjadi tempat favorit bagi Soe Hok Gie dalam sebuah puisinya beliau menyebut Lembah Kasih Lembah Mandalawangi.

kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

Itulah sepenggal kisah perjalanan kami. Perjalanan yg penuh canda tawa dan makna. Kami akan terus berjalan menyusuri setiap keindahan ciptaan Allah Yang Maha Keren. Dari setiap perjalanan kami menemukan pelajaran. Maka dari itu terus lah berjalan karena JALAN-JALAN IS MY WAY !!! 

Terima kasih Pangrango yg telah melahirkan kisah ini, suatu saat kami akan kembali