“Kerusakan terjadi dimana-mana karena ulah manusia.” (QS. Ar-Ruum, 30:41).
Sejak lima tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu.
Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Terutama di tiga tahun terakhir, setelah pecahnya krisis subprime mortgages pada Juli 2007, pemerintah AS melakukan intervensi paling dramatis di pasar finansial sejak 1930-an.
Dalam 2 minggu yang bergolak, pemerintah USA menasionalisasi 2 raksasa mortgage, Fannie Mae dan Freddie Mac, mengambil alih AIG, perusahaan asuransi terbesar di dunia, dan memperluas jaminan dana pemerintah hingga $ 3,4 trilyun di pasar uang antar bank, melarang transaksi short-selling di lebih dari 900 saham perusahaan finansial, dan yang paling dramatis memberikan bail-out (semacam BLBI) $ 700 milyar ke sistem finansial untuk menutup kerugian aset-aset beracun yang terkait dengan mortgage. Hanya dalam waktu 3 minggu pemerintah AS telah menambah utang bruto-nya lebih dari $ 1 trilyun – 2 kali lipat dari biaya perang Irak.
Estimasi terakhir oleh IMF pada Oktober 2008, kerugian global akibat krisis ini mencapai $ 1,4 trilyun, naik hampir $ 500 milyar dari estimasi April 2008 yang sebesar $ 945 milyar. Kini di awal 2010 kerugian global tersebut membengkak hingga lebih dari $ 3 trilyun!
Interkoneksi sistem bisnis global yang saling terkait, membuat 'efek domino' krisis yang berbasis di Amerika Serikat ini, dengan cepat dan mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali Indonesia.
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara bersangkutan. Puluhan proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali. Pasar modal mengalami keterpurukan yang belum pernah terjadi dalam sejarah.
Meskipun proses penanggulangan dan penyembuhan dari penyakit-penyakit itu kini sedang berlangsung, namun berbagai ketidak pastian masih saja membayang-bayangi. Tingkat suku bunga semakin tinggi dan diduga akan terus membumbung, memperkuat kekhawatiran akan gagalnya proses penyembuhan di atas.
Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidak adilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidak mampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa “Tidak satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut” (News Week, “Saving the World Economy”).
Akar Masalah
Keberlanjutan dan keseriusan problem-problem di atas menunjukkan bahwa pasti ada sesuatu yang salah secara mendasar. Apakah sesuatu yang salah itu?
Secara objektif harus diakui bahwa upaya pemecahan masalah tersebut selama ini hanya bersifat kosmetikal. Belum mencapai akar permasalahan. Meskipun ada desakan untuk perbaikan yang menyeluruh.
Target yang mesti dicapai adalah kesejahteraan dan kesehatan sosial yang terpancar dari dalam kesadaran manusia, disertai dengan keadilan dan keterbukaan pada semua tingkat interaksi manusia. Target semacam ini tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya transformasi moral dari setiap individu dan masyarakat tempat ia tinggal.
Manusia mempunyai kebutuhan material dan spiritual, dan kebahagiaan mereka tergantung pada keseimbangan pemenuhan kedua kebutuhan tersebut. Karena adanya degradasi moral yang terus menerus dan menguatnya kecenderungan konsumtivisme, muncullah kekurang seimbangan dalam sikap dan aspirasi.
Ada keinginan yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan material dan pemuasan keinginan. Sebaliknya, terlalu sedikit upaya memenuhi kebutuhan spiritual, manusiawi, atau kebutuhan akan pemerataan distribusi di kalangan anggota masyarakat.
Upaya mencapai kepuasan diri atau kesuksesan hidup melalui pertumbuhan ekonomi yang “tinggi” telah menjadi ciri pokok kehidupan masyarakat “modern” saat ini.
Seluruh upaya, secara langsung ataupun tidak langsung, diarahkan untuk memenuhi keinginan ini, tanpa mempedulikan apakah keinginan seperti itu memang mendesak dalam rangka memenuhi kebutuhan manusiawi yang hakiki.
Akibatnya, hedonisme, materialisme dan konsumtivisme melanda hampir seluruh anggota masyarakat. John K. Galbraith, dalam bukunya The New Industrial State (hal.153), menyatakan bahwa, “konsumsi barang telah menjadi sumber kenikmatan yang paling besar, dan tolok ukur prestasi manusia yang paling tinggi”. Dengan demikian, yang kini tengah terjadi adalah: simbol-simbol gengsi yang dipromosikan secara besar-besaran, begitu pula keinginan manusia dibuat agar tak terbatas, tidak pernah terpuaskan dibanding kebutuhan manusiawi yang sesungguhnya.
Hasilnya: setiap orang berjuang dan bekerja keras memburu materi sehingga tidak lagi mempunyai cukup waktu untuk memenuhi kebutuhan spiritual, membina anak, dan membangun solidaritas sosial. Bahkan untuk itu, banyak yang terpaksa melakukan korupsi, cara-cara yang tidak fair, atau rela mengorbankan hak yang diberikan Allah kepada orang lain.
Peningkatan kesejahteraan ternyata tidak diikuti oleh pemerataan. Jurang sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin telah semakin lebar. Diantara kebutuhan dasar orang-orang miskin, makanan, pakaian, pendidikan, fasilitas kesehatan dan perumahan tidak terpenuhi secara layak.
Banyak masalah baru sesungguhnya tengah diciptakan bagi si miskin melalui inflasi (sehingga harga-harga semakin tak terjangkau) dan perusakan lingkungan yang cenderung lebih berpengaruh besar terhadap mereka. Ide dasar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan demikian patut dipertanyakan.
Realitas menunjukkan, fenomena peningkatan volume barang dan jasa belum memberikan sumbangannya bagi kebahagiaan manusia. Hal ini karena sesungguhnya, kebahagiaan pada hakikatnya merupakan refleksi kedamaian jiwa, yang tidak sekedar merupakan fungsi material tetapi juga keadaan spiritual.
Distribusi pendapatan yang tidak adil yang disertai dengan perbedaan tingkat kehidupan yang mencolok membuat orang terus menerus menderita dan tidak bahagia. Orang tidak pernah puas dan tidak pernah mampu ataupun tidak pernah mau memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Akibatnya, solidaritas sosial melemah dan masyarakat mengalami degradasi.
Dewasa ini, menurut E.J.Mishan dalam bukunya The Cost of Economic Growth (hal 204), ada tanda-tanda peningkatan simptom anomali seperti stres, depresi, frustasi, kehilangan kepercayaan, alinasi antara orangtua dan anak, perceraian dan tindakan anarkhis. Ketegangan dimana-mana lebih terasa daripada keharmonisan, ketidak-adilan lebih kentara daripada keadilan.
Selama ini, sistem kapitalisme modern yang muncul -menurut Daniel Bell- dengan kombinasi tiga kekuatan utama, yaitu: ‘kerakusan borjuis’, ‘masyarakat politik demokratis’ dan ‘semangat individualistis’, telah gagal menjawab semua problema di atas. Marxisme pun tidak mampu menawarkan penyelesaian, karena sebab yang sesungguhnya dari masalah manusia bukanlah perjuangan kelas, tetapi degradasi moral.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa Marxisme memainkan peranan penting dalam meremehkan moral, sama dengan peranannya dalam mendorong kecenderungan konsumtif. Dengan demikian, sistem kolektif tersebut gagal memecahkan hampir semua masalah yang dihadapi oleh kapitalisme.
(bersambung)
sumber : eramuslim.com
Sejak lima tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu.
Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Terutama di tiga tahun terakhir, setelah pecahnya krisis subprime mortgages pada Juli 2007, pemerintah AS melakukan intervensi paling dramatis di pasar finansial sejak 1930-an.
Dalam 2 minggu yang bergolak, pemerintah USA menasionalisasi 2 raksasa mortgage, Fannie Mae dan Freddie Mac, mengambil alih AIG, perusahaan asuransi terbesar di dunia, dan memperluas jaminan dana pemerintah hingga $ 3,4 trilyun di pasar uang antar bank, melarang transaksi short-selling di lebih dari 900 saham perusahaan finansial, dan yang paling dramatis memberikan bail-out (semacam BLBI) $ 700 milyar ke sistem finansial untuk menutup kerugian aset-aset beracun yang terkait dengan mortgage. Hanya dalam waktu 3 minggu pemerintah AS telah menambah utang bruto-nya lebih dari $ 1 trilyun – 2 kali lipat dari biaya perang Irak.
Estimasi terakhir oleh IMF pada Oktober 2008, kerugian global akibat krisis ini mencapai $ 1,4 trilyun, naik hampir $ 500 milyar dari estimasi April 2008 yang sebesar $ 945 milyar. Kini di awal 2010 kerugian global tersebut membengkak hingga lebih dari $ 3 trilyun!
Interkoneksi sistem bisnis global yang saling terkait, membuat 'efek domino' krisis yang berbasis di Amerika Serikat ini, dengan cepat dan mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali Indonesia.
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara bersangkutan. Puluhan proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali. Pasar modal mengalami keterpurukan yang belum pernah terjadi dalam sejarah.
Meskipun proses penanggulangan dan penyembuhan dari penyakit-penyakit itu kini sedang berlangsung, namun berbagai ketidak pastian masih saja membayang-bayangi. Tingkat suku bunga semakin tinggi dan diduga akan terus membumbung, memperkuat kekhawatiran akan gagalnya proses penyembuhan di atas.
Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidak adilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidak mampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa “Tidak satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut” (News Week, “Saving the World Economy”).
Akar Masalah
Keberlanjutan dan keseriusan problem-problem di atas menunjukkan bahwa pasti ada sesuatu yang salah secara mendasar. Apakah sesuatu yang salah itu?
Secara objektif harus diakui bahwa upaya pemecahan masalah tersebut selama ini hanya bersifat kosmetikal. Belum mencapai akar permasalahan. Meskipun ada desakan untuk perbaikan yang menyeluruh.
Target yang mesti dicapai adalah kesejahteraan dan kesehatan sosial yang terpancar dari dalam kesadaran manusia, disertai dengan keadilan dan keterbukaan pada semua tingkat interaksi manusia. Target semacam ini tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya transformasi moral dari setiap individu dan masyarakat tempat ia tinggal.
Manusia mempunyai kebutuhan material dan spiritual, dan kebahagiaan mereka tergantung pada keseimbangan pemenuhan kedua kebutuhan tersebut. Karena adanya degradasi moral yang terus menerus dan menguatnya kecenderungan konsumtivisme, muncullah kekurang seimbangan dalam sikap dan aspirasi.
Ada keinginan yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan material dan pemuasan keinginan. Sebaliknya, terlalu sedikit upaya memenuhi kebutuhan spiritual, manusiawi, atau kebutuhan akan pemerataan distribusi di kalangan anggota masyarakat.
Upaya mencapai kepuasan diri atau kesuksesan hidup melalui pertumbuhan ekonomi yang “tinggi” telah menjadi ciri pokok kehidupan masyarakat “modern” saat ini.
Seluruh upaya, secara langsung ataupun tidak langsung, diarahkan untuk memenuhi keinginan ini, tanpa mempedulikan apakah keinginan seperti itu memang mendesak dalam rangka memenuhi kebutuhan manusiawi yang hakiki.
Akibatnya, hedonisme, materialisme dan konsumtivisme melanda hampir seluruh anggota masyarakat. John K. Galbraith, dalam bukunya The New Industrial State (hal.153), menyatakan bahwa, “konsumsi barang telah menjadi sumber kenikmatan yang paling besar, dan tolok ukur prestasi manusia yang paling tinggi”. Dengan demikian, yang kini tengah terjadi adalah: simbol-simbol gengsi yang dipromosikan secara besar-besaran, begitu pula keinginan manusia dibuat agar tak terbatas, tidak pernah terpuaskan dibanding kebutuhan manusiawi yang sesungguhnya.
Hasilnya: setiap orang berjuang dan bekerja keras memburu materi sehingga tidak lagi mempunyai cukup waktu untuk memenuhi kebutuhan spiritual, membina anak, dan membangun solidaritas sosial. Bahkan untuk itu, banyak yang terpaksa melakukan korupsi, cara-cara yang tidak fair, atau rela mengorbankan hak yang diberikan Allah kepada orang lain.
Peningkatan kesejahteraan ternyata tidak diikuti oleh pemerataan. Jurang sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin telah semakin lebar. Diantara kebutuhan dasar orang-orang miskin, makanan, pakaian, pendidikan, fasilitas kesehatan dan perumahan tidak terpenuhi secara layak.
Banyak masalah baru sesungguhnya tengah diciptakan bagi si miskin melalui inflasi (sehingga harga-harga semakin tak terjangkau) dan perusakan lingkungan yang cenderung lebih berpengaruh besar terhadap mereka. Ide dasar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan demikian patut dipertanyakan.
Realitas menunjukkan, fenomena peningkatan volume barang dan jasa belum memberikan sumbangannya bagi kebahagiaan manusia. Hal ini karena sesungguhnya, kebahagiaan pada hakikatnya merupakan refleksi kedamaian jiwa, yang tidak sekedar merupakan fungsi material tetapi juga keadaan spiritual.
Distribusi pendapatan yang tidak adil yang disertai dengan perbedaan tingkat kehidupan yang mencolok membuat orang terus menerus menderita dan tidak bahagia. Orang tidak pernah puas dan tidak pernah mampu ataupun tidak pernah mau memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Akibatnya, solidaritas sosial melemah dan masyarakat mengalami degradasi.
Dewasa ini, menurut E.J.Mishan dalam bukunya The Cost of Economic Growth (hal 204), ada tanda-tanda peningkatan simptom anomali seperti stres, depresi, frustasi, kehilangan kepercayaan, alinasi antara orangtua dan anak, perceraian dan tindakan anarkhis. Ketegangan dimana-mana lebih terasa daripada keharmonisan, ketidak-adilan lebih kentara daripada keadilan.
Selama ini, sistem kapitalisme modern yang muncul -menurut Daniel Bell- dengan kombinasi tiga kekuatan utama, yaitu: ‘kerakusan borjuis’, ‘masyarakat politik demokratis’ dan ‘semangat individualistis’, telah gagal menjawab semua problema di atas. Marxisme pun tidak mampu menawarkan penyelesaian, karena sebab yang sesungguhnya dari masalah manusia bukanlah perjuangan kelas, tetapi degradasi moral.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa Marxisme memainkan peranan penting dalam meremehkan moral, sama dengan peranannya dalam mendorong kecenderungan konsumtif. Dengan demikian, sistem kolektif tersebut gagal memecahkan hampir semua masalah yang dihadapi oleh kapitalisme.
(bersambung)
sumber : eramuslim.com