Hujan, Rindu, dan Sebuah Kisah



Hujan tak henti-hentinya membasahi bumi
Layaknya sang rindu yang tak pernah selesai
Rindu yang tertawan dalam sebuah kotak
Penuh dengan berbagai asa dan alasan 

Hujan ini semakin membuatku basah
Basah dengan semua rindu
Rindu yang tersembunyi dalam tawa
Berharap alasan itu tetap ada 

Hujan semakin deras 
Membuatku hanyut terbawa arus 
Mungkin terdampar dalam batuan
Mungkin hingga ke samudera luas 

Kali ini aku terjebak dalam sebuah kisah, yang tidak jelas alurnya seperti apa. Dengan tokoh-tokoh yang misterius. Sulit untuk keluar dari kisah ini, layaknya buku tanpa halaman. Kubiarkan diriku menikmati kisah-kisah ini, menanti sebuah titik terang dari setiap lembar-lembar kertas yang kusam. Kejelajahi setiap struktur huruf dalam kisah ini, kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf demi paragraf yang ada. Ingin rasanya aku menuliskan sebuah kalimat dalam kisah ini, namun tak ada kuasa untuk melakukannya. Kisah ini semakin menguasai setiap aspek dari hidupku.

 Dan sekali lagi kucoba untuk menikmati alur kisah ini, aku pikir setiap kisah akan berakhir bahagia. Hal itu tidak berlaku dalam kisah ini . . . 

Kisah Sebungkus Keripik



Siang ini 20 Desember 2012, mendapat inspirasi dari sebuah ruangan rahasia untuk membuat sebuah cerita pendek yang sangat pendek. Diketik jam 14.54-15.06 WIB di lantai dasar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sambil ngecharging netbook milik kawanku Sutanto Atmosfver.           

“KISAH SEBUNGKUS KERIPIK”

Tadi malam aku bersama kawanku berkunjung ke kosan teman yang tidak jauh dari kampus. Biasalah mencari sesuatu yang tidak ada, siapa tau banyak makanan yang bisa aku cicipi disana. Benar dugaanku disana ada beberapa jenis makanan yang bisa kumakan. Salah satunya adalah sebungkus kiripik singkong pedas, lupa lagi apa merk kiripik tersebut yang jelas tertulis kata “pedas” berwarna hijau  dibungkus plastiknya.
                Isinya sudah tak lagi penuh, mungkin tinggal sepertiganya saja dan diikat oleh sebuah karet. Warna keripik itu coklat kemerahan bertabur bumbu cabe yang jelas begitu pedas rasanya. Mereka seakan berteriak memanggil meminta untuk dimakan. Mau gimana lagi, aku tak kuasa menolak permintaan kiripik-kiripik tersebut. Kumakan satu-persatu, huap demi huap hingga mulai mengucur keringat dan cairan dari hidungku.
             Godaan rasa pedas itu memang sulit untuk dihindari, meskipun pedas tapi tetap saja kulahap dengan nikmatnya. Dan tanpa terasa mereka sudah habis kumakan dengan hanya menyisakan bungkusnya saja. 

Dua belas jam kemudian
                Aku mulai sering pergi ke sebuah ruangan rahasia yang ada di kampusku. Mereka seakan tertawa terbahak-bahak dalam perut ini. “gara-gara keripik aku perutku jadi sakit” keluhku dalam hati saja, pura-pura tidak terjadi apa-apa. Tak lama kemudian “salah siapa makan gue sampai habis sebungkus, udah tau gue itu pedas masih saja dimakan” ujar si keripik membela diri.